Gincu dan Garam

Diposting oleh S Kelana | 16.30 | 2 komentar »

“Perbedaan saya dengan Natsir ibarat segelas air di depan saya ini, yang tampaknya begitu bening dan transparan. Nah cobalah teteskan gincu dan kocok. Warnanya jelas berubah, tapi rasanya tidak berubah. Tapi coba masukkan setengah sendok garam, dan kemudian kocok. Warnanya tidak akan berubah, tapi rasanya berubah. Natsir itu menganggap Islam sebagai gincu, sementara saya menganggap Islam sebagai garam”.

Kata-kata itu keluar dari mendiang Bung Hatta pada tahun 1962 sebagaimana diceritakan kembali oleh Dr. Mohammad Imaddudin Abdurahmim dalam buku surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Buku itu judulnya “Tidak Ada Negara Islam”(hlm 164). Saya baca buku itu sambil menunggu hujan reda dan tentu sangat tidak konsentrasi. Angin kencang, saya takut dan kekawatir terjadi apa-apa dengan pohon mangga Arumanis di depan rumah. Saya belum memangkas dahan-dahannya yang menjulang.

Metafor garam dan gincu, mewakili wacana dan praksis politik pada dekade awal kemerdekaan dan tampaknya sampai kini. Gincu untuk menyebut yang memperjuangkan formalitas/tampilan luar/label sementara garam untuk lebih menekankan kepada susbstansi. “Gincu” dan “garam” memang sengit bertarung tidak saja pada masa lalu, tetapi juga pada masa sekarang.

Dan keislaman saya, tidak terwakili, baik dalam Gincu maupun Garam. Bagi saya keduanya terkandung hasrat ingin mendominasi, sementara bagi saya, Islam cukup sebagai inspirasi.
Read More ->>>