Gincu dan Garam

Diposting oleh S Kelana | 16.30 | 2 komentar »

“Perbedaan saya dengan Natsir ibarat segelas air di depan saya ini, yang tampaknya begitu bening dan transparan. Nah cobalah teteskan gincu dan kocok. Warnanya jelas berubah, tapi rasanya tidak berubah. Tapi coba masukkan setengah sendok garam, dan kemudian kocok. Warnanya tidak akan berubah, tapi rasanya berubah. Natsir itu menganggap Islam sebagai gincu, sementara saya menganggap Islam sebagai garam”.

Kata-kata itu keluar dari mendiang Bung Hatta pada tahun 1962 sebagaimana diceritakan kembali oleh Dr. Mohammad Imaddudin Abdurahmim dalam buku surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Buku itu judulnya “Tidak Ada Negara Islam”(hlm 164). Saya baca buku itu sambil menunggu hujan reda dan tentu sangat tidak konsentrasi. Angin kencang, saya takut dan kekawatir terjadi apa-apa dengan pohon mangga Arumanis di depan rumah. Saya belum memangkas dahan-dahannya yang menjulang.

Metafor garam dan gincu, mewakili wacana dan praksis politik pada dekade awal kemerdekaan dan tampaknya sampai kini. Gincu untuk menyebut yang memperjuangkan formalitas/tampilan luar/label sementara garam untuk lebih menekankan kepada susbstansi. “Gincu” dan “garam” memang sengit bertarung tidak saja pada masa lalu, tetapi juga pada masa sekarang.

Dan keislaman saya, tidak terwakili, baik dalam Gincu maupun Garam. Bagi saya keduanya terkandung hasrat ingin mendominasi, sementara bagi saya, Islam cukup sebagai inspirasi.
Read More ->>>

Kemiskinan

Diposting oleh S Kelana | 10.52 | | 2 komentar »

Oleh:Andre Ata Ujan

Jumlah orang kaya dan superkaya di Asia meningkat, dengan negeri Sakura, Jepang, sebagai penyumbang tertinggi mencapai angka 1,47 juta high net worth individuals (HNWI) atau 43,7 persen dari total HNWI di Asia. Selain Tiongkok, yang berada pada peringkat kedua (7.8 persen), ikut masuk dalam daftar indikator HNWI adalah Australia (10,3 persen), Korea Selatan (14,1 persen), Singapura (21,2 persen), India (29,5 persen), dan Indonesia (16,0 persen) atau 2,1 persen lebih tinggi dari Korea Selatan, negara Asia yang telah berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara makmur di belahan barat dunia. Bahkan bersama India dan Singapura, Indonesia mencatat "prestasi" luar biasa karena ikut menempatkan diri sebagai bagian dari wilayah dengan tingkat pertambahan orang kaya dan superkaya tercepat di Asia.

Pada saat yang sama, manusia seantero dunia mengumandangkan perang melawan kemiskinan. Hari antikemiskinan, 17 Oktober, diperingati meriah. Melalui program Millennium Development Goals, dunia bertekad memberantas kemiskinan. Di Indonesia gerakan antikemiskinan digelar massal menjangkau pelosok-pelosok, termasuk pedalaman Kalimantan dan Papua, dua wilayah kaya-raya yang sebagian besar pendudukanya masih dililit kemiskinan. Mengapa wajah suram seperti ini terus berlanjut?

Besarnya jurang kaya dan miskin, yang ditandai dengan peningkatan jumlah orang kaya dan superkaya di satu-pihak dan masih terus terseretnya sebagian besar penduduk dunia dalam kemiskinan di lain pihak, layak dibaca sebagai wajah kegagalan ekonomi pasar sebagai sistem pengentas kemiskinan.

Dengan filosofi neo-liberalisme yang sangat mengagungkan kepentingan individual, ekonomi pasar mematikan moral sentiment manusia dan sekaligus membangun kultur persaingan yang mengabaikan kepentingan bersama. Prinsip no harm dan sympathy yang oleh Adam Smith dilihat sebagai kemampuan moral untuk membendung egoisme ekonomi menjadi tak berdaya berhadapan dengan nafsu mengejar kepentingan diri (self-interest).

Akumulasi Modal

Kehadiran orang kaya dan superkaya di tengah kemiskinan menunjukkan betapa ekonomi pasar berhasil mendorong akumulasi modal pada sekelompok kecil orang sambil memperdalam nestapa kemiskinan sebagian besar orang lain. Berada di jantung penyebab kegagalan itu adalah doktrin pokok neo-liberalisme, yang mereduksi manusia menjadi melulu homo economicus (manusia ekonomi). Satu-satunya relasi bermakna adalah relasi transaksi jual-beli. Nilai manusia tidak lagi terletak pada being (kualitas manusia kepribadian), melainkan pada having (milik material).

Jumlah rumah mewah, luas tanah, serta seberapa banyak mobil mewah yang dimiliki menjadi ukuran kualitas manusia. Tidak mengherankan kalau korupsi lalu bermetamorfosa menjadi "budaya" sehingga sang koruptor memilih senyum dan melambaikan tangan ketimbang menutup muka ketika disorot kamera televisi menjelang masuk gerbang rumah tahanan.

Yang menyakitkan adalah dalam tata nilai absurd seperti ini orang miskin justru menyubsidi orang kaya. Seorang petani miskin di Nusa Tenggara Timur, misalnya, harus mengeluarkan uang lebih banyak daripada orang di Jakarta untuk membayar sandal jepit dengan kualitas yang sama. Padahal, untuk itu pasar yang sama telah memaksanya menjual panenannya dengan harga sangat murah. Dengan demikian, seorang petani miskin sekurang-kurangnya dua kali mengalami kerugian akibat hantaman pasar yang memang tidak mengenal dialog (negosiasi) selain kompetisi.

Akumulasi modal pada sekelompok kecil orang lalu menjadi tak terhindarkan. Dengan demikian, ekonomi pasar bekerja dengan efek paradoksal: mendorong ke atas untuk mereka yang kuat sambil menendang ke bawah bagi yang lemah. Jelas etos homo economicus membuat kolonialisme kapitalisme tak terhindarkan, bahkan berkelanjutan.

Setengah hati

Milton Friedman, ekonom Harvard yang menjadi salah satu pendukung kontemporer teori pasar bebas, katanya, telah "bertobat". Dulu, sebagaimana dikutip O'Neill, kata kunci untuk ekonomi, demikian Friedman, adalah "privatisasi". Tetapi, sekarang telah bergeser ke "regulasi" (John O'Neill, The Market, 1998). Friedman, yang awalnya sangat menekankan keuntungan ekonomis sebagai satu-satunya tujuan bisnis, tampaknya sadar bahwa prinsip internal self-regulation yang selama ini menjadi tameng normatif beroperasinya bisnis dalam etos ekonomi pasar tidak lagi memadai.

Dengan demikian, kalau angka kemiskinan masih sangat tinggi (35 persen?) untuk sebuah negara kaya seperti Indonesia, hal ini terjadi karena tiga hal. Pertama, karena otoritas negara tidak mampu membangun sistem (baca: regulasi) sosial-ekonomi yang pro rakyat. Keluhan bahwa pengusaha kecil atau rakyat biasa tak punya akses pada dunia perbankan, misalnya, menjadi bukti betapa pemerintah bersikap setengah hati dalam membela kepentingan rakyat banyak. Karena itu property ownership democracy (John Rawls, Political Liberalism, 1996), gagasan politik ekonomi yang menjadi prasyarat pembangunan kesejahteraan sosial pun tak akan pernah terwujud.

Kedua, generasi muda yang seharusnya membawa perbaikan dalam sistem perekonomian serta pelbagai dimensi peradaban lainnya, dipaksa secara sistematis untuk menjalani pendidikan dalam tekanan kultur pasar. Perguruan tinggi lalu cenderung pragmatis, menghasilkan anak-anak muda terampil sesuai selera pasar. Entrepreneurship, yang qua defenisi berorientasi pada prestasi dan tanggung jawab individu pada dirinya sendiri, oleh sebagian perguruan tinggi lalu dipuja sebagai dewa penyelamat di tengah persaingan yang terus meningkat.

Padahal, kendati memiliki sejumlah nilai positif dari segi bisnis, dalam dunia pendidikan pengagungan terhadap entrepreneurship dengan kompetisi sebagai nilai sentralnya dapat menghambat tumbuhnya rasa kebersamaan dan sikap altruis, dua nilai penting yang mendorong lahirnya tanggung jawab sosial. Implikasinya, penyakit sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan tidak lagi menjadi tanggung jawab bersama melainkan urusan perorangan, individual.

Godaan bagi perguruan tinggi untuk bertumpu pada etos bisnis seperti ini sebagian disebabkan oleh sikap setengah hati pemerintah dalam memenuhi amanat Konstitusi. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN sampai sekarang tak kunjung terealisasi. Artinya, pendidikan tidak pernah masuk skala prioritas utama dalam kebijakan pembangunan.

Ketiga, angka kemiskinan akan tetap tinggi karena ekonomi pasar diperlakukan sebagai sesuatu yang given. Padahal sebagai ciptaan manusia, teori ini selalu bisa dimodifikasi, atau bahkan ditinggalkan. Di sini regulasi untuk menjinakkan pasar dan membuatnya lebih berwajah humanis menjadi krusial. Sayang, gejala ke arah itu belum sangat jelas, sementara sebagian besar anak bangsa terus terbelit kemiskinan di tengah alam dan bumi Indonesia yang kaya-raya. Ke mana kekayaan itu?

Penulis adalah staf Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/10/20/Editor/edit01.htm
Read More ->>>

Kubaca (Lagi) Ronggeng Dukuh Paruk.

Diposting oleh S Kelana | 05.46 | | 3 komentar »


Saya membaca kembali Novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Buku ini saya beli lima tahun yang lalu, setelah itu saya lupa dimana menaruhnya. Baru tadi siang buku itu kutememukan kembali, ia terselip diantara buku-bukuku.


Dimana kekuatan novel ini, menurutku ada dua. Pertama, pengarangnya menulis suatu yang sangat real, masalah-masalah orang kecil yang terjadi sebagai akibat dari kemiskinan. Ia menuliskan ‘kisah nyata’ yang dialami oleh orang-orang kecil. Kedua, kemampuan bercerita dari Ahmad Tohari sendiri yang lancar, renyah, tidak mengada-ada. Disamping itu, ia bercerita dengan bahasa rakyat dan menunjukkan bahwa ia sangat paham dan mengerti konteks, setting dan kosmologi masyarakat Dukuh Paruk tentang Ronggeng.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk pada dasarnya merupakan sketsa, sebuah potret cultural dan structural dari kampong Dukuh Paruk yang dilanda kemelaratan. Menjadi ronggeng, merupakan terobosan untuk meningkatkan status social seseorang. Tidak heran kemudian, jika para perempuan di dukuh paruk, mimpinya adalah bagaimana menjadi ronggeng. Sayangnya, tidak semua orang menjadi ronggeng, sebab hanya orang-orang ‘terpilih’ belaka yang bias menjadi ronggeng. Dengan statusnya sebagai ronggeng, maka kemudian naik dan bisa berhubungan tokoh-tokoh penting. Tentu saja hubungan ini semata-mata dilandasi oleh hasrat melampiaskan gairah kelaki-lakian.

Novel ini juga mengangkat sisi fenimisme, dengan bahasa yang santun, tidak meledak-ledak sebagaimana bahasa yang sering digunakan oleh kaum feminist. Srintil menjadi korban dari kultur, struktur masyarakat dan politik yang berkembang. Dalam kultur dan struktur masyarakat dukuh paruh, berkembang kenyakinan bahwa adanya ronggeng di dukuh itu adalah perlambang. Simbol dari jati diri dukuh paruk. Nilai-nilai atau kenyakinan itu dikembangkan oleh anak cucu Ki Secamenggala.

Tak kalah menariknya adalah konteks politik, Srintil yang tidak tahu apa-apa soal politik juga harus berurusan dengan yang berwajib karena saat itu kesenian ronggeng dipakai sebagai alat kampanye PKI. Dalam sebuah wawancara di bulletin RUAS, karena menulis soal setting 65 ini, dirinya sempat dipanggil BIN. Dan dirinya dianngap sebagai Islam semangka.

Read More ->>>