Kubaca (Lagi) Ronggeng Dukuh Paruk.

Diposting oleh S Kelana | 05.46 | | 3 komentar »


Saya membaca kembali Novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Buku ini saya beli lima tahun yang lalu, setelah itu saya lupa dimana menaruhnya. Baru tadi siang buku itu kutememukan kembali, ia terselip diantara buku-bukuku.


Dimana kekuatan novel ini, menurutku ada dua. Pertama, pengarangnya menulis suatu yang sangat real, masalah-masalah orang kecil yang terjadi sebagai akibat dari kemiskinan. Ia menuliskan ‘kisah nyata’ yang dialami oleh orang-orang kecil. Kedua, kemampuan bercerita dari Ahmad Tohari sendiri yang lancar, renyah, tidak mengada-ada. Disamping itu, ia bercerita dengan bahasa rakyat dan menunjukkan bahwa ia sangat paham dan mengerti konteks, setting dan kosmologi masyarakat Dukuh Paruk tentang Ronggeng.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk pada dasarnya merupakan sketsa, sebuah potret cultural dan structural dari kampong Dukuh Paruk yang dilanda kemelaratan. Menjadi ronggeng, merupakan terobosan untuk meningkatkan status social seseorang. Tidak heran kemudian, jika para perempuan di dukuh paruk, mimpinya adalah bagaimana menjadi ronggeng. Sayangnya, tidak semua orang menjadi ronggeng, sebab hanya orang-orang ‘terpilih’ belaka yang bias menjadi ronggeng. Dengan statusnya sebagai ronggeng, maka kemudian naik dan bisa berhubungan tokoh-tokoh penting. Tentu saja hubungan ini semata-mata dilandasi oleh hasrat melampiaskan gairah kelaki-lakian.

Novel ini juga mengangkat sisi fenimisme, dengan bahasa yang santun, tidak meledak-ledak sebagaimana bahasa yang sering digunakan oleh kaum feminist. Srintil menjadi korban dari kultur, struktur masyarakat dan politik yang berkembang. Dalam kultur dan struktur masyarakat dukuh paruh, berkembang kenyakinan bahwa adanya ronggeng di dukuh itu adalah perlambang. Simbol dari jati diri dukuh paruk. Nilai-nilai atau kenyakinan itu dikembangkan oleh anak cucu Ki Secamenggala.

Tak kalah menariknya adalah konteks politik, Srintil yang tidak tahu apa-apa soal politik juga harus berurusan dengan yang berwajib karena saat itu kesenian ronggeng dipakai sebagai alat kampanye PKI. Dalam sebuah wawancara di bulletin RUAS, karena menulis soal setting 65 ini, dirinya sempat dipanggil BIN. Dan dirinya dianngap sebagai Islam semangka.

3 komentar

  1. Unknown // 23 Oktober 2007 pukul 03.56  

    kayaknya menarik tuh novelnya. ngambil setting 65, tentang PKI, kemiskinan, jadi ronggeng dan yang menarik buatku, ada satu istilah yang bahkan aku belom tahu: islam semangka! yang aku tahu islam abangan. mungkin karena semangka berwarna merah jadi sama aja ya artinya?
    [sekarang ada semangka kuning lho...]

  2. Anonim // 24 Oktober 2007 pukul 17.59  

    Iyah, Ronggeng Dukuh Paruk Surat Untuk Emak itu memang luar biasa. Alurnya sederhana. Kemampuan bertutur A Tohari memang beda. Ia menulis tanpa beban intelaktual.

  3. Anonim // 5 Februari 2008 pukul 21.22  

    apa yang coba kubayangkan pada saat membaca lembar demi lembar Ronggeng Dukuh paruk?tak lain kucoba menghadirkan dalam imajiku sesosok bayangan wajah seorang Srintil, yang bagiku adalah perempuan tegar, berkarakter, cantik seorang gadis desa yang luar biasa.namun aku tak dapat menghadirkannya dalam nuansa imajiku yang tlah membuncah!